Minggu, 19 April 2015

Kompasianer dan Kejujuran Berita

1428865565276208283
Gambar : Menulis yang jujur, bisakah? (kaskus.co.id)
Secara tiba-tiba semangat menulisku kembali membara, meski ritmenya tak sesering beberapa bulan yang lalu. Tapi ketika alam bawah sadarku terbangun, nafsu untuk menulis itu bangkit lagi. Mudah-mudahan semangat ini tak hilang ditelan masa dan tak ditelan pulsa.

Bagaimana tidak, ibunya anak-anak tiba-tiba bertanya-tanya perihal tulisan yang saya publish di Kompasiana (dot) com. Tulisan yang mengisahkan seorang aparat negara yang tiba-tiba karena tulisan tersebut yang bersangkutan dipanggil atasannya.

Mudah-mudahan saja panggilan sang komandan bukan untuk menurunkan pangkatnya akibat tulisanku tersebut. Tapi sekedar klarifikasi benar tidaknya berita yang telah dibuat.

Tepatnya pasca diterbitkannya artikel tersebut, aparat keamanan ini pun dipanggil bos besar, dan karena panggilannya tersebut, ibunya anak-anak turut mencari tahu tulisan seperti apa yang saya publish. Setelah membaca tulisan tersebut, ia pun protes, kenapa itu pake' ditulis segala di medsos kompasiana? Gara-gara tulisan bapak sang prajurit kena getahnya. Untunglah getahnya gak lengket dan merembet pada persoalan yg menyangkut karir.

Melihat sikap yang kurang nrimo dengan situasi yang terjadi, saya pun berusaha menjelaskan bahwa segalanya mesti dibuka agar negeri ini tahu baik dan buruknya kondisi rakyatnya. Jika ternyata baik, tentu itulah prestasi yang sebenar-benarnya, tapi jika itu buruk, maka akan menjadi bahan koreksi dan pelajaran yang berharga bahwa segalanya pasti akan terjadi jika luput dari perhatian.

Terus terang, semenjak sang istri melakukan aksi protes, unjuk rasa, kenapa saya menuliskan perihal dimaksud, saya pun menegaskan, bahwa saya menulis demi sebuah berita yang apa adanya. Tak perlu ditutup-tutupi apalagi direkayasa. Apa bedanya saya selaku penulis bebas, dengan para wartawan (amplop) itu? Mendengar penjelasan saya iapun terdiam dan berusaha  menerima penjelasan saya.

Apalagi alasan saya menulis tentu bukan hendak menjelek-jelekkan sebuah institusi dan pribadi tertentu, hanya sekedar cerita yang cerita itu benar-benar dialami dan patut untuk dicermati sebagai bagian tugas yang mulia tesebut. Seandainya karena tulisan itu berdampak negatif, tentu saya selaku penulisnya bersedia melakukan klarifikasi. Dan saya berharap pihak yang saya beritakan tidak merasa dirugikan, justru mendapatkan keuntungan.

Berlatar belakang protes sang istri tersebutlah, hakekatnya saya menyadari bahwa kompasiana dengan para kompasianernya benar-benar mengemban misi suci yakni mewartakan apapun yang ada di lingkungannya, menceritakan apapun yang terjadi dengan kejujuran informasi. Bukan sosok penulis dengan background politik tertentu. Sehingga para "penulis bayaran" tersebut seringkali lepas dari konteks kejujuran dan cenderung berat sebelah (diskriminatif), seringkali bersikap apriori dengan kondisi yang telah dan akan terjadi.

Para penulis kompasiana hakekatnya sosok kepanjangan tangan warga biasa, kalangan biasa yang banyak bersentuhan dengan dunia masyarakat bawah. Mereka berprinsip menulis untuk mewartakan apa yang terjadi di lingkungannya dan tidak sekedar untuk mencari sensasi apalagi mencari nafkah dengan cara memfitnah dan merendahkan martabat kelompok atau orang lain.

Sehingga, dengan konteks tersebut, sepatutnya pulalah para kompasianer adalah orang-orang yang jelas statusnya, bukan orang-orang yang bersembunyi di balik topeng kemunafikan. Mereka bukanlah orang-orang yang tega merusak reputasi orang lain demi meraih keuntungan tak seberapa.

Mereka berusaha mencari jalan tengah terhadap apapun yang terjadi, dan bukan malah memperuncing persoalan, sehingga tidak menimbulkan riak-riak dan gejolak di masyarakat. Itulah hakekat citizen journalism, masyarakat yang sadar bahwa dirinya merupakan bagian perubahan baik bagi dirinya sendiri, orang di sekitarnya dan negara ini menuju arah yang lebih baik. Dan bukan sebaliknya ingin menambah persoalan baru yang justru tidak diharapkan sama sekali.
 
Ketika kompasianer tak lagi netral


Saya masih teringat betapa riuhnya Pilpres yang sempat menyita perhatian dari berbagai kalangan. Tak hanya tim sukses, para penulis kompasiana pun turut menjadi riuh rendahnya berita dan konflik di negeri ini. Saya kurang begitu mengenal latar belakang penulis tendensius yang menyerang salah satu partai atau calon presiden kala itu. Tapi paling tidak para penulis yang selalu terlihat pertentangan opini tentu diawali dari faktor x, boleh jadi mereka adalah sekelompok timses yang mencari peruntungan dan kesempatan.

Meskipun tak semuanya dikategorikan sebagai timses, sayang sekali di antara mereka justru memicu pertengkaran media yang berujung permusuhan yang tak juga berakhir. Bahkan jika melihat status-status mereka di beberapa media ternyata masih saja saling ejek dan dikaitkan dengan tokoh yang dipuja-puja tersebut.

Dampak ketika konflik tak juga diakhiri, adalah hingga detik ini tulisan yang dipublis acapkali dikaitkan dengan persoalan masa lalu yang tak jua menemukan jalan terangnya. Masing-masing posisi saling mengejek jika terjadi kesalahan dan dikait-kaitnya dengan para tokoh yang awalnya dicalonkan.

Selain terjadinya persoalan masa lalu yang tak juga membaik, ternyata dibalik "dendam" itu lahirlah tulisan-tulisan yang sarat dengan muatan politis. Tulisan-tulisan yang selalu tendensius dan bermuara pada satu tujuan, balas dendam politik. Sehingga tulisan yang lahir pun menimbulkan konflik batin pihak2 yang saling bertentangan. Belum lagi tulisan yang dilahirkan adalah didorong sentimen kelompok tertentu yang cenderung merasa paling benar.

Itulah sedikit banyak akibat jika kompasianer menyimpan misi terselubung dan tidak murni sebagai bagian perubahan positif bagi negeri ini.

Belum lagi, jika penulis berita atau opini justru menggunakan inisial yang tak jelas, manusia abu-abu. Mereka berusaha menjadi bagian kritikus masyarakat tapi tidak meninggalkan jejak sama sekali. Seandainya tulisan yang dilahirkan adalah fitnah, tentu akan sulit dilakukan klarifikasi dan hak jawab bagi para pihak yang merasa dirugikan.

Dampak terburuknya kompasianer dianggap sebagai penulis bayaran yang kering dari kejujuran informasi. Segala berita dibuat dan dibumbui dengan opini sendiri yang cenderung menjelekkan kelompok lain.

Meskipun demikian, apa sih kompasianer tanpa para penulisnya. Meskipun bermacam-macam tujuan dan pesan yang dibawa, semuanya diakomodir dan diberikan ruang untuk bersosialisasi menurut selera masing-masing.

Namun demikian, saya menyadari bahwa akan lebih berharga ketika segala opini dan berita terlahir dari fakta yang sebenarnya, bukan gosip-gosip tak berdasar dan cenderung berujung fitnah dan mengadu domba.

Jika pola citizen journalism benar-benar terlahir dari kejujuran informasi, tentu media manapun termasuk kompasiana akan tepat untuk dijadikan rujukan dari berbagai pihak.

Salam

MAA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar