Minggu, 19 April 2015

Pengalaman Pertama Mengikuti Terapi Bekam

Gambar: Darah kental setelah dibekam (wikipedia.org)
Alhamdulillah, Senin lalu, 13 April 2015, sore hari sepulang tugas mengajar, saya bersama istri menyempatkan diri mencoba pengobatan bekam. Selain menjalani pengobatan ala bekam kami sekeluarga hendak mengikuti rukiah, dengan tujuan memperoleh ketenangan diri dan memohon pada Allah agar terhindar dari gangguan jin.

Pengobatan ini kebetulan dibuka sepanjang hari, di kawasan 22 Metro Utara, Kota Metro. Dan saya sengaja menjalani pengobatan bekam sebenarnya untuk pencegahan lantaran tubuh seringkali mudah lelah, punggung yang terasa tegang dan berat. Kemungkinan karena penyumbatan darah lantaran minimnya aktifitas fisik. Seandainya berolah raga, durasinya kurang mencukupi dan saya jarang berolah raga paling-paling seminggu sekali.

Kebetulan teknik pengobatan ala bekam ini dilakukan oleh seorang tabib bersama istrinya yang juga memiliki keahlian yang sama. Menurut penuturan beliau, usaha pengobatan bekam ini sudah dijalani kurang lebih sepuluh tahun dengan jumlah pasien yang lumayan banyak berasal dari beberapa pelosok wilayah di Kota Metro dan sekitarnya.

Meskipun pengobatan ini tradisional yang mengikuti ajaran nabi Muhammad SAW, ternyata banyak yang berminat mengikuti pengobatan di tempat beliau. Nabi Muhammad berdasarkan riwayat Jabir bin ‘Abdillah ra, ia berkata, “saya pernah mendengar Nabi SAW bersabda ; “Aku tidak berjalan dihadapan sekelompok malaikat pun pada malam ketika aku diisra’kan, kecuali mereka berkata, “Wahai Muhammad, perintahkanlah ummatmu agar berbekam”. (Shahihul Jami’ : 5671) Hadits Shahih.

Pasalnya karena cara-cara yang dilakukan murni mengikuti ajaran Nabi, dan tidak menggunakan obat-obatan kimia. Tak hanya di masa Islam pengobatan ini dilakukan, ternyata masyarakat Tiongkok juga mengenal bekam dengan istilah dalam bahasa Mandarin pa ho kuan. Begitu pula di belahan bumi lain seperti Yunani, Romawi, Bizantium, Italia dan lain-lain. sumber

Menurut penuturan beliau pula, bahwa Rasulullah sudah melakukan pengobatan ini pada diri beliau dan para sahabat-sahabatnya. Dan alhamdulillah dengan proses pengobatan ala bekam ini Rasulullah jarang menderita sakit. Dampak positif lantaran pengobatan yang sesuai dengan tuntunan yang benar. Berbeda dengan sistem pengobatan modern yang menggunakan obat-obatan kimiawi yang apabila dikonsumsi dalam jangka panjang justru akan menimbulkan dampak kerusakan pada organ tubuh lainnya, seperti jantung, ginjal dan lambung. Oleh karena itu, pengobatan secara bekam termasuk pengobatan yang paling aman. Namun demikian, pengobatan ini tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang,akan tetapi harus dilakukan oleh orang-orang yang profesional.

Mengikuti pengobatan bekam, sebenarnya tujuan awalnya kami untuk pencegahan penyakit. Sehingga ketika hati saya bertanya-tanya, seperti apa sih tata cara pengobatan ini, maka saya lantas mencari dan mencoba terapi kesehatan ala Nabi ini. 

Saya mengenal pengobatan ini awalnya keterangan dari para sahabat yang kebetulan lebih dahulu mengikuti pengobatan ini. Dan terlihat mereka yang sudah mengikuti pengobatan ini terlihat lebih sehat dan wajahnya lebih cerah. Dampak pengobatan alami tanpa bahan-bahan kimia.

Berdasarkan pengobatan yang kami ikuti, ternyata tabib menggunakan tusuk jarum pada daerah yang hendak di bekam. Tujuannya untuk memberi ruang agar darah yang kotor bisa dihisap oleh alat bekam. Saya menyebutnya dengan kop, karena tubuh saya dikop dengan beberapa alat hingga darah merah yang mengental agak kehitam-hitaman tersedot keluar. Memang sih, pada saat pengobatan dimulai, tubuh saya merasa kesakitan karena tusukan jarum dan kop yang menarik darah tersebut. Namun sensasi yang saya rasakan setelah selesai adalah tubuh saya menjadi lebih ringan dan denyut jantung menjadi lebih teratur. Jauh berbeda sebelum diadakan pengobatan.

Namun demikian, reaksi setelah pengobatan tersebut tubuh saya lumayan sakit seperti pasca dioperasi, permukaan kulit yang dibekam kehitam-hitaman dan sedikit tegang. Tapi itu adalah reaksi wajar, dan dua hari setelah pengobatan reaksi fisik yang kurang nyaman itu akhirnya sirna. Dan rasa sehat dampak dari pengobatan bekam ini saat ini mulai terasa.

Saya awalnya sebelum diberikan pengobatan bekam, tubuh saya tidak betah duduk terlalu lama, jantung berdebar-debar dan kepala sering pusing. Selain gejala itu, tengkuk saya terasa berat lantaran penumpukan lemak darah yang cukup kronis. Seandainya gejala tersebut dibiarkan maka besar kemungkinan menjadi penyebab penyumbatan pembuluh darah yang bermuara pada gejala strok ringan hingga berat.

Gejala positif yang dialami istri pun demikian. Sebelum menjalani pengobatan ini, ketika hawa dingin kulit terasa gatal-gatal, menurut medis gejala gatal-gatal tersebut karena darah yang kotor. Sehingga dengan pengobatan bekam tersebut sedikit banyak menghisap atau mengurangi kotoran yang ada di dalam darah akibat terkontaminasi dari makanan yang kurang sehat. Dan setelah menjalani bekam tersebut, saat ini rasa gatal ketika cuaca dingin sudah tidak terasa lagi. Reaksi pengobatan pertama yang kami rasakan pasca mengikuti bekam. Seandainya kami melakukan secara rutin mungkin hasilnya akan lebih baik lagi.

Apakah manfaat terapi bekam?

Menurut penuturan sang tabib, terapi bekam memiliki manfaat yang luar biasa. Seperti mencegah darah tinggi, strok, kencing manis, dan bermacam-macam penyakit.

Proses bekam dengan mengeluarkan darah statis dan mengandung toksin (racun), jadi dengan cara bekam tesebut, secara perlahan darah-darah yang mati dan mengandung racun dikeluarkan dari tubuh dengan alat vakum khusus untuk bekam.

Dengan terapi bekam, tak hanya kami yang merasakan manfaatnya, karena banyak pasien yang berobat pada tabib Mahdi tersebut mengalami kesembuhan dari penyakit yang diderita. Meskipun terapi yang dilakukan tiap-tiap orang berbeda tergantung jenis penyakit yang diderita.

Salam

Kompasianer dan Kejujuran Berita

1428865565276208283
Gambar : Menulis yang jujur, bisakah? (kaskus.co.id)
Secara tiba-tiba semangat menulisku kembali membara, meski ritmenya tak sesering beberapa bulan yang lalu. Tapi ketika alam bawah sadarku terbangun, nafsu untuk menulis itu bangkit lagi. Mudah-mudahan semangat ini tak hilang ditelan masa dan tak ditelan pulsa.

Bagaimana tidak, ibunya anak-anak tiba-tiba bertanya-tanya perihal tulisan yang saya publish di Kompasiana (dot) com. Tulisan yang mengisahkan seorang aparat negara yang tiba-tiba karena tulisan tersebut yang bersangkutan dipanggil atasannya.

Mudah-mudahan saja panggilan sang komandan bukan untuk menurunkan pangkatnya akibat tulisanku tersebut. Tapi sekedar klarifikasi benar tidaknya berita yang telah dibuat.

Tepatnya pasca diterbitkannya artikel tersebut, aparat keamanan ini pun dipanggil bos besar, dan karena panggilannya tersebut, ibunya anak-anak turut mencari tahu tulisan seperti apa yang saya publish. Setelah membaca tulisan tersebut, ia pun protes, kenapa itu pake' ditulis segala di medsos kompasiana? Gara-gara tulisan bapak sang prajurit kena getahnya. Untunglah getahnya gak lengket dan merembet pada persoalan yg menyangkut karir.

Melihat sikap yang kurang nrimo dengan situasi yang terjadi, saya pun berusaha menjelaskan bahwa segalanya mesti dibuka agar negeri ini tahu baik dan buruknya kondisi rakyatnya. Jika ternyata baik, tentu itulah prestasi yang sebenar-benarnya, tapi jika itu buruk, maka akan menjadi bahan koreksi dan pelajaran yang berharga bahwa segalanya pasti akan terjadi jika luput dari perhatian.

Terus terang, semenjak sang istri melakukan aksi protes, unjuk rasa, kenapa saya menuliskan perihal dimaksud, saya pun menegaskan, bahwa saya menulis demi sebuah berita yang apa adanya. Tak perlu ditutup-tutupi apalagi direkayasa. Apa bedanya saya selaku penulis bebas, dengan para wartawan (amplop) itu? Mendengar penjelasan saya iapun terdiam dan berusaha  menerima penjelasan saya.

Apalagi alasan saya menulis tentu bukan hendak menjelek-jelekkan sebuah institusi dan pribadi tertentu, hanya sekedar cerita yang cerita itu benar-benar dialami dan patut untuk dicermati sebagai bagian tugas yang mulia tesebut. Seandainya karena tulisan itu berdampak negatif, tentu saya selaku penulisnya bersedia melakukan klarifikasi. Dan saya berharap pihak yang saya beritakan tidak merasa dirugikan, justru mendapatkan keuntungan.

Berlatar belakang protes sang istri tersebutlah, hakekatnya saya menyadari bahwa kompasiana dengan para kompasianernya benar-benar mengemban misi suci yakni mewartakan apapun yang ada di lingkungannya, menceritakan apapun yang terjadi dengan kejujuran informasi. Bukan sosok penulis dengan background politik tertentu. Sehingga para "penulis bayaran" tersebut seringkali lepas dari konteks kejujuran dan cenderung berat sebelah (diskriminatif), seringkali bersikap apriori dengan kondisi yang telah dan akan terjadi.

Para penulis kompasiana hakekatnya sosok kepanjangan tangan warga biasa, kalangan biasa yang banyak bersentuhan dengan dunia masyarakat bawah. Mereka berprinsip menulis untuk mewartakan apa yang terjadi di lingkungannya dan tidak sekedar untuk mencari sensasi apalagi mencari nafkah dengan cara memfitnah dan merendahkan martabat kelompok atau orang lain.

Sehingga, dengan konteks tersebut, sepatutnya pulalah para kompasianer adalah orang-orang yang jelas statusnya, bukan orang-orang yang bersembunyi di balik topeng kemunafikan. Mereka bukanlah orang-orang yang tega merusak reputasi orang lain demi meraih keuntungan tak seberapa.

Mereka berusaha mencari jalan tengah terhadap apapun yang terjadi, dan bukan malah memperuncing persoalan, sehingga tidak menimbulkan riak-riak dan gejolak di masyarakat. Itulah hakekat citizen journalism, masyarakat yang sadar bahwa dirinya merupakan bagian perubahan baik bagi dirinya sendiri, orang di sekitarnya dan negara ini menuju arah yang lebih baik. Dan bukan sebaliknya ingin menambah persoalan baru yang justru tidak diharapkan sama sekali.
 
Ketika kompasianer tak lagi netral


Saya masih teringat betapa riuhnya Pilpres yang sempat menyita perhatian dari berbagai kalangan. Tak hanya tim sukses, para penulis kompasiana pun turut menjadi riuh rendahnya berita dan konflik di negeri ini. Saya kurang begitu mengenal latar belakang penulis tendensius yang menyerang salah satu partai atau calon presiden kala itu. Tapi paling tidak para penulis yang selalu terlihat pertentangan opini tentu diawali dari faktor x, boleh jadi mereka adalah sekelompok timses yang mencari peruntungan dan kesempatan.

Meskipun tak semuanya dikategorikan sebagai timses, sayang sekali di antara mereka justru memicu pertengkaran media yang berujung permusuhan yang tak juga berakhir. Bahkan jika melihat status-status mereka di beberapa media ternyata masih saja saling ejek dan dikaitkan dengan tokoh yang dipuja-puja tersebut.

Dampak ketika konflik tak juga diakhiri, adalah hingga detik ini tulisan yang dipublis acapkali dikaitkan dengan persoalan masa lalu yang tak jua menemukan jalan terangnya. Masing-masing posisi saling mengejek jika terjadi kesalahan dan dikait-kaitnya dengan para tokoh yang awalnya dicalonkan.

Selain terjadinya persoalan masa lalu yang tak juga membaik, ternyata dibalik "dendam" itu lahirlah tulisan-tulisan yang sarat dengan muatan politis. Tulisan-tulisan yang selalu tendensius dan bermuara pada satu tujuan, balas dendam politik. Sehingga tulisan yang lahir pun menimbulkan konflik batin pihak2 yang saling bertentangan. Belum lagi tulisan yang dilahirkan adalah didorong sentimen kelompok tertentu yang cenderung merasa paling benar.

Itulah sedikit banyak akibat jika kompasianer menyimpan misi terselubung dan tidak murni sebagai bagian perubahan positif bagi negeri ini.

Belum lagi, jika penulis berita atau opini justru menggunakan inisial yang tak jelas, manusia abu-abu. Mereka berusaha menjadi bagian kritikus masyarakat tapi tidak meninggalkan jejak sama sekali. Seandainya tulisan yang dilahirkan adalah fitnah, tentu akan sulit dilakukan klarifikasi dan hak jawab bagi para pihak yang merasa dirugikan.

Dampak terburuknya kompasianer dianggap sebagai penulis bayaran yang kering dari kejujuran informasi. Segala berita dibuat dan dibumbui dengan opini sendiri yang cenderung menjelekkan kelompok lain.

Meskipun demikian, apa sih kompasianer tanpa para penulisnya. Meskipun bermacam-macam tujuan dan pesan yang dibawa, semuanya diakomodir dan diberikan ruang untuk bersosialisasi menurut selera masing-masing.

Namun demikian, saya menyadari bahwa akan lebih berharga ketika segala opini dan berita terlahir dari fakta yang sebenarnya, bukan gosip-gosip tak berdasar dan cenderung berujung fitnah dan mengadu domba.

Jika pola citizen journalism benar-benar terlahir dari kejujuran informasi, tentu media manapun termasuk kompasiana akan tepat untuk dijadikan rujukan dari berbagai pihak.

Salam

MAA